Sabtu, 07 Oktober 2017

KESEPUHAN DAN ADAT CISUNGSANG

SOFTSKILL EKONOMI KOPERASI
TUGAS PENULISAN
 “KESEPUHAN DAN ADAT CISUNGSANG
 
 
EKO MAHENDRA 22216288
UNIVERSITAS GUNADARMA 2017/2018
KASEPUHAN CISUNGSANG
  1. Asal-Usul Kasepuhan Cisungsang
Kampung Cisungsang terletak persis di tepi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Terlihat tugu dan papan yang berdiri kokoh yang menandakan bahwa kawasan di Kecamatan Cibeber merupakan kawasan TNGS. Pemandangan sepanjang perjalanan dari Kota Kecamatan Bayah menuju Cisungsang terlihat  masih asri.
Jarak dari ibukota Provinsi Banten, kota Serang menuju  ke Cisungsang sekitar 250 KM, jalan raya -  jika dari Jakarta sekitar 350 KM. Walau jauh dan melelahkan, perjalanan akan terasa menyenangkan karena setelah sampai di wilayah Cikotok kita akan melihat pemandangan yang indah, terlihat anggunnya Gunung Halimun, yang setiap harinya dihiasi oleh awan tebal, walau hari cukup cerah di sekitarnya.
Menjelaskan sejarah Cisungsang, tidak bisa sehari-atau dua hari berada di Kasepuhan Cisungsang. Namun penulis perlu berhari-hari bahkan bertahun-tahun untuk memahami Kasepuhan Cisungsang.  Apih Adeng Jayasasmita, menegaskan pada acara Seren Taun Cisungsang  2013, di bulan September. Beliau berbincang beberapa menit sebelum beranjak membawa bahan-bahan (kemenyan) dalam  iring-iringan upacara adat Seren Taun Cisungsang, “ieu masih katutup, teua acan tiasa di buka, apih ningalina kitu ” Apih Adeng menjelaskan bahwa, cerita Kasepuhan Cisungsang belum dapat diungkapkan se-utuhnya, masih tertutup. Beliau melihat bahwa penelitian di Cisungsang, tidak akan lengkap, karena masih ada yang belum bisa diungkapkan secara terbuka kepada masyarakat umum. Hal ini membuat rasa penasaran penulis, karena Apih Adeng merupakan sesepuh yang merupakan sosok penasehat Kasepuhan Cisungsang, yang dipercaya kepala adat untuk memimpin upacara adat di Kasepuhan Cisungsang.
Kasepuhan Cisungsang bukanalah  padepokan, atau tempat untuk berkumpul atau juga kerajaan yang membuat dinasti berkembang dan beranak pinak. Namun Kasepuhan Cisungsang adalah sebuah amanat dari para leluhur yang diturunkan secara turun-temurun dari silsilah keluarga. Kehidupan masyarakat Cisungsang kini sudah moderen, hanya di komplek rumah kepala adat saja, yang bangunan serta alun-alun berdiri kokoh dengan bahan material bangunan terdiri dari bahan baku yang mayoritas teridir dari kayu, namun juga unsur moderen banyak digunakan dalam bangunan yang kini berdiri dan digunakan oleh Kepala Adat beserta keluarga, yaitu Ema isteri Abah dan ke-tiga anaknya.
          Mengutip tulisan dari Will Barton & Andrew Black, 2005. Pada, dasarnya masyarakat modern hanya memiliki sedikit kemiripan dengan apa yang kita golongkan sebagai masyarakat. Dalam  masyarakat feodal, populasi tersebar secara geografi dan terlepas dari fakta bahwa orang-orang tunduk pada aturan  raja dan tuan tanah feodal, hanya ada sedikit rasa memiliki pada komunitas lebih besar yang akan kita kenali dalam istilah “masyarakat”.
                Peran sentral Kepala Adat di Kasepuhan Cisungsang utamanya adalah dalam hal bercocok tanam dalam pertanian dan pencarian usaha masyarakat yang tergabung dalam komunitas adat kasepuhan Cisungsang. Pertanian di Kasepuhan Cisungsang masih menggunakan cara-cara tradisional. Tidak menggunakan mesin dalam menggarap lahan, namun menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak, memenaen padi dengan menggunakan pisau kecil.
Johan Iskandar Menjelaskan, Dalam beberapa kondisi, system pertanian lading tradisional mempu bertahan secara berkelanjutan. Misalnya, system pertanian yang mamapu beradaptasi dan terintegrasi dengan kondisi local, mendapat dukungan dari ekstraksi sumber-sumber nonpertanian, memiliki sekuriti dalam hal akses terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya, serta tidak melampaui daya dukungnya (Geertz, 1963;Conklin, 1969;Harris, 1969;Rappaport, 1971; Ellen, 1975, 1977;Nations & Night, 1980; Dove, 1983; Berkes et all, 1989). Jika persyaratan-persyaratan tadi tidak terpenuhi, sistem pertanian ladang berkelanjutan ini secara umum sulit untuk dipertahankan.
            Dalam Seren Taun Cisungsang, ada  istilah Balik Taun Rendangan, dalam perisitwa ini, kepala adat Kasepuhan Cisungsang, menerima para sesepuh di Kasepuhan Cisungsang atau di sebut Rendangan. Dalam pertemuan singat ini, para Rendangan bertatap muka dan, terjadi komunikasi dua arah antara Abah Usep dengan para Rendangan secara bergiliran. Segala pengalaman hidup, hasil materi yang didapatkan di ceritakan kepada Abah Usep, sebagai pupuhu adat. Peristiwa ini oleh para sesepuh adat di maknakan sebagai proses penyampaina pesan dari masyarakat di komunitas adat kepada Kepala Adat. Istilahnya adalah Nyarita.     
Komplek Kasepuhan Cisungsang
Rumah adat Kasepuhan Cisungsang berada di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, terletak di perbukitan – di kaki Gunung Halimun. Rumah kepala adat menghadap ke arah barat. Dan di depannya terdapat lahan kosong berupa halaman yang disediakan untuk kepentingan adat, sepeerti acara Seren Taun. Rumaha adat Kasepuhan Cisungsang memanjang dari arah selatan ke utara.
Rumah  adat Kasepuhan Cisungsang terdiri dari beberapa bagian ruangan yang tersusuan rapi yang terbaut dari bahan yang alami, yang hamper seluruhnya terdiri dari bahan kayu yang berada di sekitar Cisungsang. Bahan bangunan seperti tiang rumah adalah kayu kokoh berukuran besar dari kayu….sedangkan dinding dari anyaman pohon bamboo (awi) yang dianyam menjadi bilik tanpa di pernis. Lantai menggunakan kayu albasiyah yang di serut sedangkan atap dengan bahan dari injuk pohon serabut yang rapat.
Selain rumah terdapat juga Leuit  besar yang berdekatan dengan rumah adat disebut juga leuit si jimat. Leuit ini tempat penyimpanan padi untuk kepentingan kepala adat di Kasepuhan Cisungsang. Leuit ini berisikan pare hasil dari pertanian – masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang.
Leuit  memeiliki pintu yang berada di atas seperti jendela untuk penyimpanan padi atau mengeluarkan padi, yang menghadap kea rah utara. Filosofinya “sasadu kudu ka kidul” jika memohon atau menyampaikan sesuatu sebaiknya bicara dahulu ke selatan. Kasepuhan Cisungsang berada di antara gunung-gunung yang mengintari Sangga Buana, yang di anataranya Gunung Halimun.
Gunung-gunung yang terdapat di pegunungan Sangga Buana anatara lain : Gunung Benceut, Gunung Bongkok, Gunung Kelud, Gunung Jaya Sampurna, Gunung Kamuray, Gunung Suren, Gunung Bentang Gading, Gunung ngoyod, Gunung Botol,  Gunung Kasur, Gunung Palasari, gunung Salak, Gunung gagak, Gunung .
Masyarakat Kasepuhan Cisungsang mempercayai dan patuh terhadap aturan adat mengenai istilah gunung larangan dan gunung Titipan atau disebut juga leweung kolot.
Gunung larangan adalah di mana terdapat mata air yang keberadaan gunung tersebut tidak boleh di ganggu atau di gunakan untuk di garap. Gunung larangan terdapat mata air yang tidak boleh di digunakan lingkungannya oleh masyarakat Incu – Putu. Alasannya adalah karena merupakan sumber mata air yang nantinya berguna bagi masyarakat Incu – Putu. Biasanya di sekitar mata air yang terdapat di gunung Larangan terdapat dua pohon langka, yaitu pohon Leles dan Pohon Kondang.
           
Ke dua pohon itu, menjaga kelestarian air. Keberadan pohon leles dan Kondang kini langka – bahkan di Cisungsang jarang ditemui. Dari Gunung Larangan yang teradap mata air, mengaliri aliran sungai yang  mengalir di sungai Ciburial, Sungai Lebak Dahu, Sungai Lebak Leles, Sungai Palasari, Sungai Cibentang, Sungai Cimencek, Sungai Cisakirin.
Gunung Larangan terdapat di wilayah utara, barat dan timur.
Di wilayah timur terdapat perbukitan yang dilintasi sungai cibiil, sungai cibanteng, sungai cikadu, sungai cisalak. Di wilayah utara terdapat di sunagi citempu, sungai cipari, sungai lebak dahu, sungai cibenjang, sungai cimencele, sungai cibentang, sungai ciseupan.
Di wilayah barat terdapat dua sungai yaitu Cibuha dan sungai Palasari.
Pewaris tempat Kasepuhan di Banten Selatan
1.      Kasepuhan Cisungsang
2.      Kasepuhan Cipta Gelar
3.      Kasepuhan Cicarucub
4.      Kasepuhan Citorek
5.      Kasepuhan Bayah (Kasepuhan Bayh mandiri, atau berdiri sendiri tidak ada ikatan secara lahiriah dengan kasepuhan Cisungsang)
Silsilah Kasepuhan Cisungsang,
Di awali dari cerita yang disampaikan oleh Apih Adeng, diawali ketika membuka Kasepuhan Cisungsang Olot Ruman, lalu Olot Sakrim, dilanjutkan kepada Olot Ipi dan olot Ciing, lalu di pegang oleh Olot Sardani dari Olot Sardani kepada adiknya yaitu Olot Naedi yang bertahan hanya 5 tahun, melalui wangsit Abah Usep yang sedang menempuh pendidikan SMA di Rangkas, di daulat menjadi Kepala Adat sejak tahun 1993.
Kasepuhan Cisungsang, lokasinya berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, di awali di daerah Cipangbeasan. Pertamakalinya pusat rumah adat yang ditempati kepala adat dan keluarga serta kerabat dekat berada di Cisuren sekitar Gunung Lebak Lega. Kala itu kepala adat di pimpin oleh Mbah Sakrim – atau disebut Olot Sakrim yang usianya mencapai 200 tahun.
           
Kasepuhan Cisungsang menempati rumah adat di Cipangbeasan selama di pimpin Olot Sakrim. Dala perjalanannya rumaha adat Kasepuhan Cisungsang berpindah tempat ke Pasir Jingjing yang lokasinya masih di hutan yang berada di wilayah Cisungsang. DI Pasir Jingjing rumah adat Kasepuhan Cisungsang di bangun oleh ratusan warga kasepuhan Cisungsang, yang datang dari berbagai wilayah yang dilintasi sungai Cisungsang. Sebuah keanehan karena begitu banyaknya yang membantu membersihkan hutan untuk mendirikan rumah adat Kasepuhan Cisungsang, saat itu.
Dari Pasir Jingjing, Kasepuhan Cisungsang berpindah ke pasir Koja, perpindahan tempat di awalai dari wangsit yang diterima oleh kepala Adat, yang saat itu sudah di pimpin oleh Abah Usep Suyatma.  Kasepuhan Cisungsang di Pasir Koja, hingga kini masih tetap berdiri kokoh dan semakin luas.
Tahun 1993 Abah Usep Suyatma mendapatkan wangsit untuk memindahkan lokasi kasepuhan Adat Cisungsang dari Cipangbeasan. Di Awali pertemuan para tokoh rendangan dengan Abah Usep, di antaranya APih Adeng. Apih Adeng Jayasasmita di minta oleh Abah melaksanakan wangsit untuk membawa obor dan pergi ke hutan. Apih Adeng bercerita, saat itu dirinya di temani Apih Adil yang hingga kini masih menjabat Dukun Di Kasepuhan Cisungsang. Apih Adeng langsung menancapkan Obor, ketika obor yang di bawa Apih padam, karena ada yang hembusan angin yang meniup hingga Obor Mati. Apih Adeng memastikan bahwa lokasi rumah adat Kasepuhan berada di Lokasi ketika Obor padam. Setelah di tandai dengan penacapan Obor, Apih Adeng menyebut daerah tersebut dengan nama Pasir Jingjing.
Tidak berlansung lama, sebuah kajaiban saat itu ribuan orang warga kasepuhan Cisungsang datang dari pelbagai penjuru. Mereka membawa peralatan seperti golok, pacul dan peralatan yang di buat oleh Panei, atau pandai besi, membabat wilayah Hutan Pasir Jingjing untuk dijadikan tempat rumah Adat Kasepuhan Cisungsang.
Apih Adeng, menegaskan bahwa rumah adat Kasepuhan Cisungsang selesai di bangun, namun tidak digunakan dalam jangka lama. Dan sempat tidak digunakan.
Keunikan dan sebiah legenda di Cisungsang dan dipercayai oleh masyarakat adat adalah cerita tentang sungai yang mengalir di sekitar Kasepuhan Cisungsang di Cipangbeasan. Sungai Cipangbeasan berasal dari nama beras, sehingga disebut Cipangbeasan. Menurut cerita Apih Adeng, ketika seorang petani di waktu sore hari akan pulang ke rumah tidak membawa apa-apa setelah bekerja seharian, saat musim paceklik tiba, Petani datang ke Sungai Cipangbeasan , air sungai yang mengalir jernih di siuk atau di ambil untuk di bawa ke rumah dan diserahkan kepada isteri untuk di masak yang ternyata adalah beras. Cerita ini diakui Apih Adeng memang hanya terjadi di Cipangbeasan Kasepuhan Cisungsang, dan terjadi ratusan tahun yang lalu. Karena dewasa ini lahan pertanian semakin banyak dan di Kasepuhan Cisungsang masyarakat telah hidup layak dengan lahan pertanian yang ada. Tanah yang subur menjadikan panen di Kasepuhan Cisungsang dua kali dalam setahun. Dan kini tidak terjadi paceklik. Bahkan dapat dikatakan Leuit atau lumbung padi yang terdapat di rumah-rumah penduduk di Kasepuhan Cisungsang setiap tahunnya masih terisi dan tidak pernah kosong. Karena keunikan di Kasepuhan Cisungsang semua hasil panen baik Padi atau beras tidak diperjualbelikan kepada orang lain. Hanya dikonsumsi keluarga saja.
Seren Tahun Cisungsang
Tradisi Seren Taun merupakan upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang diselenggarakan setiap tahun. Dalam upacara, masyarakat akan menyerahkan hasil bumi berupa padi untuk disimpan di lumbung.
Namun, di beberapa desa upacara Seren Taun biasanya diawali dengan mengambil air suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya, air yang diambil berasal dari tujuh mata air, selanjutnya disatukan dalam satu wadah dan didoakan, sehingga dianggap bertuah dan membawa berkah.
Kemudian, air ini dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa berkah. Di Banten sendiri, beberapa daerah turut menyelenggarakan tradisi Seren Taun, di antaranya Desa Kanekes dan Cisungsang.
1. Etimologi
Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Taun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan sarana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat, leuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.
2. Sejarah
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemulian arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran bercorak Hindu.
Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.
3. Ritual Upacara
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya diawali dengan mengambil air suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya air yang diambil berasal dari tujuh mata air yang kemudian disatukan dalam satu wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan membawa berkah. Air ini dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa berkah. Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu memberi berkah yang berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual penyembelihan kerbau yang dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mampu dan makan tumpeng bersama. Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang golek.
Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni tari buyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cisungsang.
Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan itu dikukuhkan pula melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari Ngajayak, yaitu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat, maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Asri).
Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.
                            2. https://id.wikipedia.org/wiki/Seren_Taun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar