SOFTSKILL EKONOMI KOPERASI
TUGAS PENULISAN
“KESEPUHAN DAN ADAT CISUNGSANG”
EKO MAHENDRA 22216288
UNIVERSITAS GUNADARMA 2017/2018
KASEPUHAN CISUNGSANG
- Asal-Usul Kasepuhan Cisungsang
Kampung
Cisungsang terletak persis di tepi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Terlihat tugu dan papan yang berdiri kokoh yang menandakan bahwa kawasan di
Kecamatan Cibeber merupakan kawasan TNGS. Pemandangan sepanjang perjalanan dari
Kota Kecamatan Bayah menuju Cisungsang terlihat masih asri.
Jarak dari
ibukota Provinsi Banten, kota Serang menuju ke Cisungsang sekitar 250 KM,
jalan raya - jika dari Jakarta sekitar 350 KM. Walau jauh dan melelahkan,
perjalanan akan terasa menyenangkan karena setelah sampai di wilayah Cikotok
kita akan melihat pemandangan yang indah, terlihat anggunnya Gunung Halimun,
yang setiap harinya dihiasi oleh awan tebal, walau hari cukup cerah di
sekitarnya.
Menjelaskan
sejarah Cisungsang, tidak bisa sehari-atau dua hari berada di Kasepuhan
Cisungsang. Namun penulis perlu berhari-hari bahkan bertahun-tahun untuk
memahami Kasepuhan Cisungsang. Apih Adeng Jayasasmita, menegaskan pada
acara Seren Taun Cisungsang 2013, di bulan September. Beliau berbincang
beberapa menit sebelum beranjak membawa bahan-bahan (kemenyan) dalam
iring-iringan upacara adat Seren Taun Cisungsang, “ieu masih katutup,
teua acan tiasa di buka, apih ningalina kitu ” Apih Adeng menjelaskan
bahwa, cerita Kasepuhan Cisungsang belum dapat diungkapkan se-utuhnya, masih
tertutup. Beliau melihat bahwa penelitian di Cisungsang, tidak akan lengkap,
karena masih ada yang belum bisa diungkapkan secara terbuka kepada masyarakat
umum. Hal ini membuat rasa penasaran penulis, karena Apih Adeng merupakan
sesepuh yang merupakan sosok penasehat Kasepuhan Cisungsang, yang dipercaya
kepala adat untuk memimpin upacara adat di Kasepuhan Cisungsang.
Kasepuhan
Cisungsang bukanalah padepokan, atau tempat untuk berkumpul atau juga
kerajaan yang membuat dinasti berkembang dan beranak pinak. Namun Kasepuhan
Cisungsang adalah sebuah amanat dari para leluhur yang diturunkan secara
turun-temurun dari silsilah keluarga. Kehidupan masyarakat Cisungsang kini sudah
moderen, hanya di komplek rumah kepala adat saja, yang bangunan serta alun-alun
berdiri kokoh dengan bahan material bangunan terdiri dari bahan baku yang
mayoritas teridir dari kayu, namun juga unsur moderen banyak digunakan dalam
bangunan yang kini berdiri dan digunakan oleh Kepala Adat beserta keluarga,
yaitu Ema isteri Abah dan ke-tiga anaknya.
Mengutip tulisan dari Will Barton & Andrew Black, 2005. Pada, dasarnya
masyarakat modern hanya memiliki sedikit kemiripan dengan apa yang kita golongkan
sebagai masyarakat. Dalam masyarakat feodal, populasi tersebar secara
geografi dan terlepas dari fakta bahwa orang-orang tunduk pada aturan
raja dan tuan tanah feodal, hanya ada sedikit rasa memiliki pada
komunitas lebih besar yang akan kita kenali dalam istilah “masyarakat”.
Peran sentral Kepala Adat di Kasepuhan Cisungsang utamanya adalah dalam hal
bercocok tanam dalam pertanian dan pencarian usaha masyarakat yang tergabung
dalam komunitas adat kasepuhan Cisungsang. Pertanian di Kasepuhan Cisungsang
masih menggunakan cara-cara tradisional. Tidak menggunakan mesin dalam
menggarap lahan, namun menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak, memenaen
padi dengan menggunakan pisau kecil.
Johan Iskandar Menjelaskan, Dalam beberapa kondisi,
system pertanian lading tradisional mempu bertahan secara berkelanjutan.
Misalnya, system pertanian yang mamapu beradaptasi dan terintegrasi dengan
kondisi local, mendapat dukungan dari ekstraksi sumber-sumber nonpertanian,
memiliki sekuriti dalam hal akses terhadap lahan dan sumber daya alam lainnya,
serta tidak melampaui daya dukungnya (Geertz, 1963;Conklin, 1969;Harris,
1969;Rappaport, 1971; Ellen, 1975, 1977;Nations & Night, 1980; Dove, 1983;
Berkes et all, 1989). Jika persyaratan-persyaratan tadi tidak terpenuhi, sistem
pertanian ladang
berkelanjutan ini secara umum sulit untuk dipertahankan.
Dalam Seren Taun Cisungsang, ada istilah Balik Taun Rendangan,
dalam perisitwa ini, kepala adat Kasepuhan Cisungsang, menerima para sesepuh di
Kasepuhan Cisungsang atau di sebut Rendangan. Dalam pertemuan singat
ini, para Rendangan bertatap muka dan, terjadi komunikasi dua arah antara Abah
Usep dengan para Rendangan secara bergiliran. Segala pengalaman hidup, hasil
materi yang didapatkan di ceritakan kepada Abah Usep, sebagai pupuhu
adat. Peristiwa ini oleh para sesepuh adat di maknakan sebagai proses
penyampaina pesan dari masyarakat di komunitas adat kepada Kepala Adat.
Istilahnya adalah Nyarita.
Komplek Kasepuhan Cisungsang
Rumah adat Kasepuhan
Cisungsang berada di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, terletak di perbukitan
– di kaki Gunung Halimun. Rumah kepala adat menghadap ke arah barat. Dan di
depannya terdapat lahan kosong berupa halaman yang disediakan untuk kepentingan
adat, sepeerti acara Seren Taun. Rumaha adat Kasepuhan Cisungsang memanjang
dari arah selatan ke utara.
Rumah
adat Kasepuhan Cisungsang terdiri dari beberapa bagian ruangan yang
tersusuan rapi yang terbaut dari bahan yang alami, yang hamper seluruhnya
terdiri dari bahan kayu yang berada di sekitar Cisungsang. Bahan bangunan
seperti tiang rumah adalah kayu kokoh berukuran besar dari kayu….sedangkan
dinding dari anyaman pohon bamboo (awi) yang dianyam menjadi bilik tanpa di
pernis. Lantai menggunakan kayu albasiyah yang di serut sedangkan atap dengan
bahan dari injuk pohon serabut yang rapat.
Selain rumah terdapat juga
Leuit besar yang berdekatan dengan rumah adat disebut juga leuit si
jimat. Leuit ini tempat penyimpanan padi untuk kepentingan kepala adat di
Kasepuhan Cisungsang. Leuit ini berisikan pare hasil dari pertanian –
masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang.
Leuit memeiliki pintu yang
berada di atas seperti jendela untuk penyimpanan padi atau mengeluarkan padi,
yang menghadap kea rah utara. Filosofinya “sasadu kudu ka kidul” jika memohon
atau menyampaikan sesuatu sebaiknya bicara dahulu ke selatan. Kasepuhan Cisungsang berada di
antara gunung-gunung yang mengintari Sangga Buana, yang di anataranya Gunung
Halimun.
Gunung-gunung yang terdapat di
pegunungan Sangga Buana anatara lain : Gunung Benceut, Gunung Bongkok, Gunung
Kelud, Gunung Jaya Sampurna, Gunung Kamuray, Gunung Suren, Gunung Bentang
Gading, Gunung ngoyod, Gunung Botol, Gunung Kasur, Gunung Palasari,
gunung Salak, Gunung gagak, Gunung .
Masyarakat Kasepuhan Cisungsang
mempercayai dan patuh terhadap aturan adat mengenai istilah gunung larangan dan
gunung Titipan atau disebut juga leweung kolot.
Gunung larangan adalah di mana
terdapat mata air yang keberadaan gunung tersebut tidak boleh di ganggu atau di
gunakan untuk di garap. Gunung larangan terdapat mata air yang tidak boleh di
digunakan lingkungannya oleh masyarakat Incu – Putu. Alasannya adalah
karena merupakan sumber mata air yang nantinya berguna bagi masyarakat Incu
– Putu. Biasanya di
sekitar mata air yang terdapat di gunung Larangan terdapat dua pohon langka,
yaitu pohon Leles dan Pohon Kondang.
Ke dua pohon itu, menjaga
kelestarian air. Keberadan pohon leles dan Kondang kini langka – bahkan di
Cisungsang jarang ditemui. Dari Gunung Larangan yang teradap mata air, mengaliri
aliran sungai yang mengalir di sungai Ciburial, Sungai Lebak Dahu, Sungai
Lebak Leles, Sungai Palasari, Sungai Cibentang, Sungai Cimencek, Sungai
Cisakirin.
Gunung Larangan terdapat di wilayah
utara, barat dan timur.
Di wilayah timur terdapat perbukitan
yang dilintasi sungai cibiil, sungai cibanteng, sungai cikadu, sungai cisalak. Di wilayah utara terdapat di sunagi
citempu, sungai cipari, sungai lebak dahu, sungai cibenjang, sungai cimencele,
sungai cibentang, sungai ciseupan.
Di wilayah barat terdapat dua sungai
yaitu Cibuha dan sungai Palasari.
Pewaris tempat Kasepuhan di Banten
Selatan
1. Kasepuhan Cisungsang
2. Kasepuhan Cipta Gelar
3. Kasepuhan Cicarucub
4. Kasepuhan Citorek
5. Kasepuhan Bayah (Kasepuhan Bayh
mandiri, atau berdiri sendiri tidak ada ikatan secara lahiriah dengan kasepuhan
Cisungsang)
Silsilah Kasepuhan Cisungsang,
Di awali dari cerita yang disampaikan oleh Apih Adeng, diawali
ketika membuka
Kasepuhan Cisungsang
Olot Ruman, lalu Olot Sakrim, dilanjutkan kepada Olot Ipi dan olot Ciing, lalu
di pegang oleh Olot Sardani dari Olot Sardani kepada adiknya yaitu Olot Naedi yang
bertahan hanya 5 tahun, melalui wangsit Abah Usep yang sedang menempuh
pendidikan SMA di Rangkas, di daulat menjadi Kepala Adat sejak tahun 1993.
Kasepuhan Cisungsang, lokasinya
berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, di awali di daerah Cipangbeasan.
Pertamakalinya pusat rumah adat yang ditempati kepala adat dan keluarga serta
kerabat dekat berada di Cisuren sekitar Gunung Lebak Lega. Kala itu kepala adat
di pimpin oleh Mbah Sakrim – atau disebut Olot Sakrim yang usianya mencapai 200
tahun.
Kasepuhan Cisungsang menempati rumah
adat di Cipangbeasan selama di pimpin Olot Sakrim. Dala perjalanannya rumaha
adat Kasepuhan Cisungsang berpindah tempat ke Pasir Jingjing yang lokasinya
masih di hutan yang berada di wilayah Cisungsang. DI Pasir Jingjing rumah adat
Kasepuhan Cisungsang di bangun oleh ratusan warga kasepuhan Cisungsang, yang
datang dari berbagai wilayah yang dilintasi sungai Cisungsang. Sebuah keanehan
karena begitu banyaknya yang membantu membersihkan hutan untuk mendirikan rumah
adat Kasepuhan Cisungsang, saat itu.
Dari Pasir Jingjing, Kasepuhan
Cisungsang berpindah ke pasir Koja, perpindahan tempat di awalai dari wangsit
yang diterima oleh kepala Adat, yang saat itu sudah di pimpin oleh Abah Usep
Suyatma. Kasepuhan Cisungsang di Pasir Koja, hingga kini masih tetap
berdiri kokoh dan semakin luas.
Tahun 1993 Abah Usep Suyatma
mendapatkan wangsit untuk memindahkan lokasi kasepuhan Adat Cisungsang dari
Cipangbeasan. Di Awali pertemuan para tokoh rendangan dengan Abah Usep, di
antaranya APih Adeng. Apih Adeng Jayasasmita di minta oleh Abah melaksanakan
wangsit untuk membawa obor dan pergi ke hutan. Apih Adeng bercerita, saat itu
dirinya di temani Apih Adil yang hingga kini masih menjabat Dukun Di Kasepuhan
Cisungsang. Apih Adeng langsung menancapkan Obor, ketika obor yang di bawa Apih
padam, karena ada yang hembusan angin yang meniup hingga Obor Mati. Apih Adeng
memastikan bahwa lokasi rumah adat Kasepuhan berada di Lokasi ketika Obor
padam. Setelah di tandai dengan penacapan Obor, Apih Adeng menyebut daerah
tersebut dengan nama Pasir Jingjing.
Tidak berlansung lama, sebuah
kajaiban saat itu ribuan orang warga kasepuhan Cisungsang datang dari pelbagai
penjuru. Mereka membawa peralatan seperti golok, pacul dan peralatan yang di
buat oleh Panei, atau pandai besi, membabat wilayah Hutan Pasir Jingjing untuk
dijadikan tempat rumah Adat Kasepuhan Cisungsang.
Apih Adeng, menegaskan bahwa rumah
adat Kasepuhan Cisungsang selesai di bangun, namun tidak digunakan dalam jangka
lama. Dan sempat tidak digunakan.
Keunikan dan sebiah legenda di
Cisungsang dan dipercayai oleh masyarakat adat adalah cerita tentang sungai
yang mengalir di sekitar Kasepuhan Cisungsang di Cipangbeasan. Sungai
Cipangbeasan berasal dari nama beras, sehingga disebut Cipangbeasan. Menurut cerita
Apih Adeng, ketika seorang petani di waktu sore hari akan pulang ke rumah tidak
membawa apa-apa setelah bekerja seharian, saat musim paceklik tiba, Petani
datang ke Sungai Cipangbeasan , air sungai yang mengalir jernih di siuk
atau di ambil untuk di bawa ke rumah dan diserahkan kepada isteri untuk di
masak yang ternyata adalah beras. Cerita ini diakui Apih Adeng memang hanya
terjadi di Cipangbeasan Kasepuhan Cisungsang, dan terjadi ratusan tahun yang
lalu. Karena
dewasa ini lahan pertanian semakin banyak dan di Kasepuhan Cisungsang
masyarakat telah hidup layak dengan lahan pertanian yang ada. Tanah yang subur
menjadikan panen di Kasepuhan Cisungsang dua kali dalam setahun. Dan kini
tidak terjadi paceklik. Bahkan dapat dikatakan Leuit atau lumbung padi yang
terdapat di rumah-rumah penduduk di Kasepuhan Cisungsang setiap tahunnya masih
terisi dan tidak pernah kosong. Karena keunikan di Kasepuhan Cisungsang semua
hasil panen baik Padi atau beras tidak diperjualbelikan kepada orang lain.
Hanya dikonsumsi keluarga saja.
Seren Tahun
Cisungsang
Tradisi
Seren Taun merupakan upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang
diselenggarakan setiap tahun. Dalam upacara, masyarakat akan menyerahkan hasil
bumi berupa padi untuk disimpan di lumbung.
Namun, di beberapa desa
upacara Seren Taun biasanya diawali dengan mengambil air suci dari beberapa
sumber air yang dikeramatkan. Biasanya, air yang diambil berasal dari tujuh
mata air, selanjutnya disatukan dalam satu wadah dan didoakan, sehingga
dianggap bertuah dan membawa berkah.
Kemudian, air ini dicipratkan
kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa berkah. Di Banten
sendiri, beberapa daerah turut menyelenggarakan tradisi Seren Taun, di
antaranya Desa Kanekes dan Cisungsang.
1. Etimologi
Istilah Seren Taun berasal
dari kata dalam Bahasa Sunda seren
yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Taun bermakna serah terima tahun
yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks
kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan sarana untuk
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang
dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan
meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara
seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan
dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau
dalam bahasa Sunda disebut leuit. Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa
disebut leuit sijimat, leuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta
leuit pangiring atau leuit leutik
(lumbung kecil). Leuit indung
digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih
dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang
akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak
tertampung di leuit indung.
2. Sejarah
Menurut catatan sejarah dan
tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan
Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan
terhadap Nyi Pohaci
Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem kepercayaan
masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli Nusantara,
yaitu animisme-dinamisme pemulian arwah karuhun
(nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran bercorak Hindu.
Masyarakat agraris Sunda kuno
memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan
alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya
adalah Kuwera, dewa kemakmuran.
Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah
(Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi
Ibu), melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan
dan kebahagiaan keluarga.
Kegiatan Seren Taun sudah
berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat
windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan
Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini
berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di
Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor.
Upacara ini disebut upacara Seren Taun
Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.
3. Ritual Upacara
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda
dan beraneka ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah
prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini
kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit
(lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian
memberikan indung pare (induk
padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin
desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya diawali
dengan mengambil air suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan. Biasanya
air yang diambil berasal dari tujuh mata air yang kemudian disatukan dalam satu
wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan membawa berkah. Air ini dicipratkan
kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa berkah. Ritual
berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut mengambil kue di
dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu memberi berkah yang
berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual penyembelihan kerbau yang
dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mampu dan makan tumpeng
bersama. Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang golek.
Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak
pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak
(menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran
kolosal, yakni tari buyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai
pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cisungsang.
Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan itu
dikukuhkan pula melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian oleh
tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari
Ngajayak, yaitu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat
untuk kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya
terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat,
maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang
lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Asri).
Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai
keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai
berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran
Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak
silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling
rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.
Sumber Pustaka : 1. http://yokiyusanto.blogspot.co.id/2014/12/kasepuhan-cisungsang.html
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Seren_Taun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar